Belajar Sustainable Fisheries Characteristics dari Suku Bajo

aruna_admin

6 Desember 2022

Keberadaan suku bajo atau bajau mungkin sudah familiar di tengah masyarakat Indonesia, terutama bagi yang gemar melakukan perjalanan ke berbagai daerah perairan Indonesia demi mengunjungi keindahan alam perairan dan bawah laut. Suku nomaden yang sudah terbiasa mengarungi luasnya lautan dan samudera ini memiliki banyak tradisi yang sangat serupa dengan sustainable fisheries characteristics.

Ya, lagi-lagi kita disadarkan untuk tidak melulu mencari belajar dan mengadaptasi konsep sustainable fisheries dari sumber yang terlalu jauh. Karena jika ditelisik lebih dalam, ada banyak kearifan lokal masyarakat yang layak untuk dijadikan bahan percontohan untuk dapat dikembangkan. Kebudayaan dari masyarakat bahari suku bajo ini salah satunya.

Suku Bajo Kaya Akan Sustainable Fisheries Characteristics

Karena laut menjadi nadi dari kehidupan masyarakat bajo sehari-hari, Suku Bajo sangat meyakini bahwa kita harus selalu mematuhi norma yang berlaku agar bisa hidup berdampingan dengan laut. Meskipun uniknya, berbagai tradisi yang terbentuk berawal dari rasa takut masyarakat suku bajo terhadap Mbo Madilau, sosok yang diyakini sejak jaman nenek moyang mereka sebagai “makhluk” penguasa lautan.

  • Tubba dikatutuang, sustainable fisheries characteristics paling menarik dari suku bajo

Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia maka artinya adalah “karang yang disayang”. Merupakan kawasan konservasi yang dianggap keramat oleh masyarakat, sehingga tidak boleh melakukan kegiatan penangkapan ikan di kawasan tersebut. Berkat tradisi ini kelestarian terumbu karang dan ketersediaan ikan di tubba dikatutuang sangat terjaga.

  • Parika sebagai sistem kelembagaan dan bagi hasil tangkapan

Seseorang akan menjabat sebagai parika dan memiliki tugas utama untuk membagi area penangkapan ikan, sehingga yang dipilih adalah sosok yang dewasa dan mampu menjadi pemimpin. Karena dalam 1 perahu terdiri dari beberapa orang, maka sistem pembagian hasilnya pun sudah ditentukan, yakni:

  1. parika sekaligus si pemilik jaring penangkap ikan mendapat 2 bagian
  2. sehe yang membantu nangkap ikan (biasanya terdiri dari 2 orang) masing-masing 1 bagian
  3. panuba yang membantu menggiring ikan tidak mendapat bagian, tetapi berhak memiliki hasil ikan yang dia panah sendiri dari area tangkapan
  •  Karang Tapotong (Karang Pakitta)

Masyarakat sangat menghormati lautan, sehingga mereka selalu melakukan ritual ketika akan melakukan kegiatan apapun, termasuk sebelum memulai menangkap ikan. Nelayan akan mencelup kacamata renang mereka sambil mencuci muka dengan air laut sebelum mulai “bekerja”. Mereka juga akan mengungkapkan bahwa kedatangan mereka ke tempat “melaut” tersebut adalah sebagai sahabat, bukan sebagai musuh.

  • Urutan sanksi terhadap pelanggaran

Tentu saja ada hukuman atau sanksi yang akan diberikan jika ada anggota masyarakat yang melanggar ketentuan. Jika diurutkan, ada sanksi pertama berupa teguran, sanksi kedua dikembalikan ke desa, kemudian sanksi ketiga berupa uang denda.

Negara kita yang terdiri dari beraneka ragam suku dengan warisan budayanya masing-masing, Di dalamnya tentu terdapat banyak pengetahuan yang sudah terbentuk secara turun-temurun. Aruna sangat menyadari akan hal ini, sehingga di setiap lokasi Aruna Hub didirikan, maka tugas yang pertama kali harus dilakukan adalah mempelajari budaya dan tradisi dari masyarakat di daerah tersebut.

Impian Aruna untuk memajukan fisheries industry di negara kita terbukti bisa berjalan tanpa harus memaksa ataupun merusak tradisi baik masyarakat yang sudah terbentuk. Seperti halnya kita belajar sustainable fisheries characteristics dari suku bajo, dengan beradaptasi dengan kebudayaan masyarakat, bukan tidak mungkin jika kelak ada tradisi lokal yang dapat menginspirasi perbaikan sistem supply chain pada seafood supplier.

Leave a reply

No comments found.